Ibadah #1 : DI BAWAH HUKUM TAURAT ATAU DI BAWAH KASIH KARUNIA

Silahkan membagikan pemikiran, artikel, pengalaman pribadi, ajaran Firman Tuhan, dsb di forum ini. Forum ini juga terbuka untuk dibaca pendatang yang tidak medaftarkan diri sehingga penulis juga bisa membagikan tautan (link) tulisannya di forum ini ke WAG atau media lainnya.
Avatar pengguna
Pujihasana
Post: 23
Bergabung: 23 Jul 2022 18:55

Ibadah #1 : DI BAWAH HUKUM TAURAT ATAU DI BAWAH KASIH KARUNIA

Post oleh Pujihasana »

Disclaimer: Tulisan ini adalah opini saya, dari pemikiran pribadi. Terbuka untuk dikritisi karena saya juga tidak berani mengklaim apa yang saya tulis di sini mutlak benar.


Kegagalan Hukum
Ketika Yesus datang ke dunia ini, ada banyak hal yang Yesus ajarkan, ilustrasikan, dan tunjukkan kepada murid-muridnya yang sebenarnya dengan jelas menggambarkan kenapa hukum Taurat itu tidak bisa secara sempurna membawa manusia kepada Tuhan. Yang mana, kalau Taurat memang bisa melakukannya, bisa membawa manusia kepada Tuhan secara utuh, Yesus tidak perlu datang untuk menggenapi hukum Taurat (Matius 5:17)

Hukum, sejelas apapun itu, siapapun perancangnya, bahkan hukum yang dirancang oleh Tuhan sendiri yaitu hukum Taurat, dengan amat mudah bisa dibengkokkan oleh hati manusia. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang mempelajari hukum Taurat, dalam prosesnya kemudian “mengembang”-kannya, membuat peraturan-peraturan sendiri, dan justru akhirnya membuat manusia menjauh dari Tuhan. Itu semua dipandang keji oleh Tuhan (Yeremia 8:7-8; Matius 15:3-6)

Yesus ketika datang ke dunia ini, menegaskan dan menggenapi sesuatu yang sebenarnya secara logika cukup sederhana. Segala hukum, ketetapan nabi dan aturan-aturan yang ada, sebenarnya tidak perlu ada apabila ada hati yang mengasihi Tuhan dan sesama dengan totalitas. (Mat 22:36-40)

Hukum selurus apapun, akan bisa dibengkokkan oleh hati yang tidak lurus. Tetapi hati yang lurus akan meluruskan segala hukum, termasuk hukum yang bengkok. Hal tersebut telah dibuktikan di mana-mana, baik di hukum negara, hukum sosial, bahkan hukum agama, di agama manapun termasuk Kristen itu sendiri. Ketika agama mulai berbicara tentang aturan, hukum, dan atau peraturan, maka hati manusia bisa membengkokkannya sedemikian rupa untuk memenuhi hasratnya secara pribadi. Hukum negara juga dengan gampang dipermainkan pengacara dan jaksa di pengadilan, terlebih apabila hukum tersebut berada di dalam lingkup permainan korupsi.
  • Singapore dan Jepang, adalah dua negara yang boleh dibilang kondisi lingkungannya sangat bersih. Tetapi ada hal yang berbeda dalam kaitan kebersihan di dua negara tersebut. Singapore punya segala aturan dan hukum terkait kebersihan, meludah didenda, buang sampah didenda, makan dan minum di MRT didenda dan peringatan akan itu ditempel di mana-mana. Sedangkan di Jepang tidak terlihat aturan-aturan tersebut dipasang di tempat-tempat umum. Kenapa? Karena orang Jepang secara kultur budaya memang sangat menyukai kebersihan. Bahkan mereka punya komunitas yang anggotanya punya hobi sama, yaitu membersihkan toilet. Apabila ada warga negara asing membuang sampah dengan sembarangan, banyak orang Jepang tanpa perlu dikomando akan mengambil sampah tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Bahkan apabila tidak ada tempat sampah di sekitarnya, mereka akan mengantongi sampah tersebut di saku celana mereka. Di Jepang yang warga negaranya mencintai kebersihan, pemerintah tidak perlu membuat hukum yang mengancam mereka sedemikian rupa sampai memberikan sanksi yang berat untuk membuat lingkungannya bersih. Sedangkan di Singapore, pemerintah masih memerlukan hukum-hukum tersebut untuk menjaga kebersihan lingkungannya hingga dijuluki “Singapore The Fine City” yang artinya adalah kota penuh denda. Semua itu terjadi di Singapore karena komposisi manusia yang mendiami kota tersebut banyak terdiri dari pendatang atau turis dibandingkan warga kota mereka sendiri.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa orang yang mencintai kebersihan kotanya, tidak membutuhkan hukum untuk menjaga kebersihan kotanya. Di lain tempat, hukum masih diperlukan bagi orang-orang yang tidak mencintai kebersihan kota yang sedang didiaminya. Tetapi hukum juga masih sering tidak bisa mengatasi problem-problem yang mendasar karena hukum juga bisa mempunyai loophole. Bagi orang-orang yang cukup gila menerjemahkan hukum, sebuah larangan “Jangan kencing di sini” bisa diartikan menjadi “Boleh kencing geser sedikit”. Bahkan, golden rule, suatu hukum sosial universal yang berbunyi “Lakukan kepada orang lain apa yang kamu ingin orang lain melakukannya kepadamu” (Matius 7:12), bisa saja diterjemahkan orang yang memang cukup gila dan tidak bermoral, menjadi “Karena saya ingin diciumi cewek itu, saya akan menciuminya terlebih dahulu”
  • Ilustrasi dari dua negara Jepang dan Singapore di atas mungkin perlu ditambahkan ilustrasi negara ketiga, Indonesia. Yang negaranya sudah punya hukum larangan membuang sampah. Tetapi ya tetap dilanggar saja dimana-mana, sehingga kekacauan seperti penyakit dan banjir terjadi dimana-mana.
Itulah hukum, sangat rentan dan seringkali tidak efektif membina moral manusia, termasuk di dalamnya hukum Taurat. Hukum bisa melindungi sebuah komunitas sosial dari perilaku-perilaku jahat, tetapi tidak pernah berhasil secara mutlak membenahi kehendak dan perilaku jahat dari oknum pelaku. Itu sebabnya, tanpa kelahiran baru, manusia tidak akan bisa melihat Kerajaan Allah yang sistemnya tidak berada di bawah hukum, melainkan di bawah kasih karunia. Karena tanpa kelahiran baru, mereka lebih membutuhkan hukum untuk mengendalikan kedagingan mereka. Hukum Kerajaan Allah seperti “tampar pipi kiri berikan pipi kanan” atau “kasihilah musuhmu” akan menjadi terdengar konyol di telinga mereka. Memang tanpa kelahiran baru, orang tidak akan bisa melihat (kebenaran prinsip dari) Kerajaan Allah (Yesus kepada Nikodemus, Yohanes 3:3)
Pujihasana Wijaya menulis:Hukum selurus apapun akan bisa dibengkokkan oleh hati yang tidak lurus. Tetapi hati yang lurus akan meluruskan segala hukum, termasuk hukum yang bengkok.
Hal yang sebaliknya, berlaku buat umat Tuhan. Apabila umat Tuhan mempunyai hati yang mengasihi Tuhan dan sesama, apabila kasih menjadi kultur budaya umat Tuhan maka apa gunanya Taurat? Bahkan apa gunanya 10 perintah Allah? Bagi umat yang mempraktekkan “ditampar pipi kiri berikan pipi kanan”, dan “kasihilah musuhmu”, maka apa gunanya hukum “Jangan Membunuh” bagi dia? Semua hukum Taurat termasuk 10 perintah Allah itu ada bagi orang-orang yang tidak mempunyai kultur dan budaya mengasihi. Aturan-aturan dan hukum itu ada supaya kita menjadi baik tetapi hanya karena kita bukan orang baik. Sebaliknya bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan dan sesamanya, hukum Taurat termasuk 10 perintah Allah, menjadi obsolete, tidak ada gunanya, tidak ada artinya.

Taurat diberikan Tuhan dengan latar belakang yang sama, manusia jatuh dalam dosa, hidup dalam dosa, menyukai dosa, dan selalu ingin memberontak kepada Tuhan. Tetapi kematian Yesus di kayu salib mematahkan itu semua, memulihkan kembali hubungan manusia kepada Tuhan. Tirai pembatas Ruang Maha Kudus di Bait Allah pun dirobek oleh Tuhan untuk menyatakan bahwa tidak ada lagi penghalang antara manusia dan Tuhan. Ketika pulihnya hubungan tersebut dipahami sebagai sesuatu yang mendasar, secara otomatis kita juga paham bahwa kita tidak membutuhkan Taurat lagi. Taurat penting untuk orang-orang yang tidak mempunyai pemahaman dan pengalaman akan penebusan Tuhan. Sangat cocok dengan ilustrasi pendatang-pendatang di Singapore yang tidak paham akan keinginan pemerintah Singapore mempunyai kota yang bersih, sehingga untuk bisa tinggal di Singapore dengan baik mereka membutuhkan hukum penuh denda. Tetapi Taurat tidak diperlukan bagi orang yang bebas dari belenggu dosa. Sama seperti hukum kebersihan tidak perlu diberikan bagi warga Jepang yang sangat sadar akan kebersihan lingkungannya.

Konteks Di Dalam Ibadah
Lantas apa hubungannya dengan ibadah? Kematian Yesus di kayu salib, tidak hanya sekedar menebus dosa manusia. Tetapi yang juga penting adalah kematian Yesus dan penebusan dosa tersebut punya arti memulihkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan yang pulih ini tentunya juga merubah cara manusia beribadah kepada Tuhan. Praktek-praktek yang dilakukan di Bait Suci yang diperuntukkan bagi manusia berdosa, tentunya juga seharusnya secara otomatis menjadi tidak relevan lagi dengan praktek ibadah manusia yang sudah ditebus.

Di Bait Suci, ada Ruang Maha Kudus yang tidak dapat dimasuki oleh siapapun kecuali Imam Besar. Tirai pemisah Ruang Maha Kudus itu robek ketika Yesus mati di atas kayu salib, dan Yesus menjadi Imam Besar seluruh manusia. Dan melalui Yesus pula manusia dilayakkan datang untuk beribadah dan bersekutu dengan Tuhan. (Ibrani 10:19-22). Maka dengan sendirinya ritual-ritual dan aturan tata ibadah Bait Suci yang tercatat di dalam Taurat pun juga menjadi obsolete.

Kisah perempuan Samaria di Yohanes 4 sebenarnya juga menjelaskan hal tersebut. Yesus berkata bahwa “saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem… Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.”.

Tujuan beribadah di Bait Suci, atau di dalam Kemah Suci seperti yang tercantum di dalam Taurat Musa jelas juga berbeda dengan tujuan beribadah orang-orang Kristen. Ibadah Perjanjian Lama di Bait Suci, adalah ibadah persembahan korban yang juga sudah digenapi oleh Kristus sesuai yang tercatat di dalam Ibrani 9. Dan di dalam ayat 11, dikatakan “Tetapi Kristus telah datang sebagai Imam Besar untuk hal-hal yang baik yang akan datang: Ia telah melintasi kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna, yang bukan dibuat oleh tangan manusia”. Tujuan beribadah orang Kristen adalah merayakan keselamatan, karya penebusan Kristus di atas kayu salib. Bukan ritual membawa korban sembelihan di atas mezbah seperti di dalam Bait Suci.

Karena tujuan beribadah saja sudah sama sekali berbeda, maka secara otomatis penyembahan menjadi tidak lagi terikat dengan Bait Suci Yerusalem seperti nubuat Yesus. Aturan-aturan yang diberikan Tuhan dalam ibadah Kemah Suci atau Bait Suci sudah tidak berlaku lagi, apalagi aturan-aturan tambahan buatan manusia. Dasar doktrin reformed pun jelas meyakini hal tersebut:
  • Belgic Confession Art 32. Of the Order and Discipline of the Church
    In the meantime we believe, though it is useful and beneficial, that those, who are rulers of the Church, institute and establish certain ordinances among themselves for maintaining the body of the Church; yet they ought studiously to take care, that they do not depart from those things which Christ, our only Master, has instituted. And therefore, we reject all human inventions, and all laws, which man would introduce into the worship of God, thereby to bind and compel the conscience in any manner whatever. Therefore we admit only of that which tends to nourish and preserve concord, and unity, and to keep all men in obedience to God. For this purpose, ex-communication or church discipline is requisite, with the several circumstances belonging to it, according to the Word of God.

    Terjemahan:
    Kita percaya meskipun akan menjadi bermanfaat apabila pemimpin gereja merancang dan memberlakukan tata cara tertentu di dalam gereja untuk pengoperasian kegiatan-kegiatan gereja. Penting bagi pemimpin gereja memperhatikan dengan seksama bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan apa yang sudah diajarkan oleh Kristus, Tuhan kita. Karena itu kita menolak semua hukum dan aturan karangan manusia yang digunakan untuk mengikat dan membatasi kesadaran insani dalam bentuk apapun yang diperkenalkan di dalam ibadah kepada Tuhan. Karena itu kita hanya mengakui segala tata cara yang digunakan untuk menghidupkan dan melestarikan keharmonisan dan kesatuan dan yang menjaga seluruh jemaat hidup dalam ketaatan kepada Tuhan. Untuk kepentingan ini dalam situasi dan kondisi tertentu sesuai Firman Tuhan, disiplin dan sanksi gereja bisa diterapkan bila dipandang perlu.
Penyembahan tidak seharusnya terikat lagi oleh peraturan-peraturan buatan manusia, aturan-aturan yang diimplementasi sebagai “taurat” baru. Banyak pengajar, pendidik, pendeta jaman sekarang memanifestasikan dirinya sebagai orang Farisi modern dengan menciptakan ruang, aturan main untuk kepentingan politis tertentu. Mereka-mereka ini akan mengulang kesalahan nenek moyang rohani mereka, dengan membuat aturan-aturan yang baru yang bahkan tidak diajarkan oleh Yesus atau Taurat itu sendiri melainkan mengandalkan asumsi dan pemahaman pribadi mereka.

Contoh yang cukup jelas adalah perdebatan umum soal tepuk tangan, angkat tangan, tari-tarian atau bahkan praktek melompat di dalam ibadah. Bagi mereka-mereka yang mendukung umumnya mereka akan merujuk pada Mazmur, dan juga menggunakan cara Daud memuji Tuhan sebagai referensi. Dan bagi mereka yang menentang itu semua, mereka akan mengeluarkan argumentasi bahwa Daud melakukan itu semua tidak di Bait Suci, melainkan di jalanan di luar Bait Suci. Argumen seperti ini berarti menyamakan gereja dengan Bait Suci, dan berarti secara bersamaan menjadikan pernyataan Yesus tidak ada gunanya. Karena sekali lagi Yesus jelas bernubuat “saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem”. Dengan demikian perdebatan bahwa ibadah harus dilakukan dengan tenang dan khusuk, atau sebaliknya ibadah harus dilakukan dengan penuh ekspresi dan hingar bingar, tidak seharusnya mendapatkan tempat lagi di dalam gereja.

Di Bawah Hukum Atau Di Bawah Kasih Karunia
Lantas apakah berarti liturgi menjadi tidak perlu? Apakah tata cara ibadah harus dihapuskan? Apakah kemudian ibadah harus keluar dari ekspresi yang random tidak teratur dan serampangan? Tentu tidak, karena liturgi itu tidak berbeda dengan alat musik yang dipakai, lagu-lagu yang dinyanyikan bersama-sama, doa syafaat yang dipanjatkan. Liturgi ada untuk menjadi fasilitas, tata cara ibadah ada untuk alat pemersatu, panduan rangka kerja layaknya dalam persiapan-persiapan acara. Ibadah jelas tetap harus berlangsung secara sopan dan teratur (1 Korintus 14:40). Tetapi ketika alat pemersatu yang tujuannya adalah menyelaraskan dan menciptakan harmoni tersebut dijadikan peraturan yang mengikat. Ketika kerangka kerja itu dirubah menjadi “Hukum” maka pemimpin gereja sudah menjadi orang-orang Farisi modern yang berusaha membuat peraturan atau praktek yang justru berpotensi menjauhkan umat dari Tuhan mereka. (Matius 23:13)

Ibadah kita sebagai orang Kristen, jelas harus berpusat kepada karya penebusan Kristus, karena tanpa penebusan Kristus kita tidak dimungkinkan beribadah kepada Tuhan seperti sekarang, itulah kasih karunia Tuhan yang melayakkan yang tidak layak bersekutu denganNya. Mengembalikan ibadah kepada praktek ibadah "gaya Bait Suci", kemudian menyebut ibadah dengan gaya tertentu itu tidak layak, apa bedanya dengan mengembalikan ibadah yang diperintahkan Tuhan saat karya penebusan Kristus belum dinyatakan?

Mungkin pernyataan dan pertanyaan di atas terdengar ekstrim. Karena memang bukan berarti yang menyelenggarakan ibadah dengan style khidmat agung dan khusuk itu sedang mempraktekkan ibadah "gaya bait suci". Tetapi ketika peminat gaya tertentu menekankan aturan-aturan baru di dalam ibadah, apalagi sampai membawa-bawa praktek ibadah "gaya Bait Suci" untuk pembenaran argumennya, maka mereka telah secara tidak langsung sudah mengingkari karya penebusan Kristus.

Ibadah #1.png
Ibadah #1.png (149.2 KiB) Dilihat 305 kali

Ibadah di dalam Roh dan Kebenaran, tidak memberi ruang bagi hukum, karena hukum ada untuk menguasai kedagingan. Hukum ada untuk orang-orang yang jauh dari kebenaran. Orang benar hidup di atas hukum karena kebenaran yang ditunjukkan dalam teladan hidupnya akan menjadi hukum bagi orang lain. Orang benar tidak hidup di bawah hukum. Ibadah di dalam roh dan kebenaran adalah ibadah di bawah kasih karunia. Ibadah di bawah kasih karunia, ada dan diperuntukkan bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan dan telah lahir baru. Apakah untuk mereka-mereka ini dibutuhkan hukum dan aturan yang membuat ibadah menjadi “teratur” sehingga baru bisa dikatakan memuliakan Tuhan? Sementara kalau mereka tidak mengikuti aturan-aturan baku tertentu dan style tertentu mereka akan dikatakan liar dan tidak memuliakan Tuhan? Pemimpin gereja perlu berhati-hati soal ini, karena barang siapa menjadi hakim ia akan dihakimi (Matius 7:1-2).

Ibadah orang yang sudah ditebus, adalah ibadah di bawah kasih karunia, bukan ibadah yang berada di bawah hukum-hukum tertentu. Barangsiapa merasa membutuhkan aturan dan hukum tertentu untuk menertibkan ibadah mereka, dengan sendirinya mengakui bahwa mereka masih membutuhkan hukum dan tidak hidup di bawah kasih karunia.

Next: Ibadah #2 : DI DALAM KETAKUTAN ATAU DI DALAM SUKACITA
Orang bodoh adalah orang yang tidak pernah bisa belajar dari siapapun, termasuk dari orang pintar
Orang pintar adalah orang yang selalu bisa belajar dari siapapun, termasuk dari orang bodoh

~ Pujihasana Wijaya
GregoryEmpom
Post: 1777
Bergabung: 16 Mar 2024 15:38

Re: Ibadah #1 : DI BAWAH HUKUM TAURAT ATAU DI BAWAH KASIH KARUNIA

Post oleh GregoryEmpom »

BUTTON_POST_REPLY