Ibadah #4: BERDASARKAN KARUNIA ATAU KEPENTINGAN

Silahkan membagikan pemikiran, artikel, pengalaman pribadi, ajaran Firman Tuhan, dsb di forum ini. Forum ini juga terbuka untuk dibaca pendatang yang tidak medaftarkan diri sehingga penulis juga bisa membagikan tautan (link) tulisannya di forum ini ke WAG atau media lainnya.
Avatar pengguna
Pujihasana
Post: 23
Bergabung: 23 Jul 2022 18:55

Ibadah #4: BERDASARKAN KARUNIA ATAU KEPENTINGAN

Post oleh Pujihasana »

Disclaimer: Tulisan ini adalah opini saya, dari pemikiran pribadi. Terbuka untuk dikritisi karena saya juga tidak berani mengklaim apa yang saya tulis di sini mutlak benar.

Tulisan ini juga adalah sambungan dari tulisan di artikel lain
Ibadah #3 : SAKRAL ATAU SERAMPANGAN


Apabila ibadah tidak tentang style (gaya), apabila ibadah bukan tentang musik, apabila ibadah bukan tentang aturan dan tata cara liturgi, dimanakah jati diri gereja? Apa yang membedakan gereja satu dengan yang lain? Apa yang lantas menjadi ciri khas suatu gereja tertentu?

Pernah suatu ketika saat saya masih remaja, seorang hamba Tuhan senior berkunjung ke gereja kami, dan kebetulan adalah seorang ketua sinode (atau mungkin sekum) yang menjabat. Ketika berkhotbah pernah mengungkapkan ‘visi’-nya tentang bagaimana apabila jemaat suatu gereja beribadah ke gereja lain dalam sinode yang sama, dia seharusnya merasa di rumah sendiri karena gaya dan liturgi ibadahnya sama. Jadi dengan demikian berarti liturgi dan gaya haruslah seragam untuk seluruh anggota sinode demi rasa feel at home jemaat yang pindah atau bertamu dari satu gereja ke gereja yang lain dalam sinode yang sama.

Mungkin hal tersebut adalah salah penyampaian, mungkin ini adalah suatu alasan yang dibuat-buat untuk kepentingan tertentu, atau bahkan mungkin ini adalah keinginan pribadi karena umat yang harus beribadah berpindah-pindah tempat dalam suatu kesinodean adalah memang umumnya anggota pengurus sinode. Apapun alasan dan latar belakangnya adakah hal positif yang menyertainya? Apabila alibinya adalah jati diri gereja, apakah memang itu perintah Tuhan bahwa gereja harus mempunyai gaya ibadah dan liturgi tertentu sebagai jati dirinya? Dan bagaimana dengan adat istiadat gereja yang dipandang perlu untuk dilestarikan?

Warna dan gaya ibadah atau liturgi, haruskah ditentukan oleh beberapa orang yang kemungkinan besar harus berpindah-pindah tempat dari satu gereja ke gereja lain, ataukah lebih logis apabila ditentukan oleh jemaat lokal? Atau mungkin haruskah warna ibadah dan liturgi ditentukan oleh keinginan beberapa individu yang puluhan tahun lalu bersepakat menentukannya, padahal ide dan pemahaman individu-individu tersebut juga tidak bisa dipastikan telah dan atau masih mewakili keinginan gereja lokal di masa sekarang? Dan sekali lagi atas nama adat istiadat yang perlu dilestarikan, maka apakah benar ibadah suatu gereja harus berkiblat ke ide pendiri-pendiri dan jemaat pendahulunya?

Sebaliknya, seorang gembala sidang, atau pemimpin gereja, apakah harus selalu menuruti keinginan-keinginan jemaatnya? Bagaimana apabila ada conflict of interest? Bagaimana dengan yang tua-tua? Apakah harus dikorbankan demi keinginan anak-anak muda? Bagaimana dengan penyandang dana pemberi persembahan besar? Kalau seorang penyandang dana gereja keluar meninggalkan gereja karena tidak lagi feel at home saat ibadah, bagaimana keuangan gereja bisa bertahan? Bagaimana membayar tagihan-tagihan listrik dan gaji pekerja (termasuk Hamba Tuhan)?

Di atas adalah pertanyaaan-pertanyaan jujur yang saya temukan, dan dengar selama masa pelayanan saya di dalam penanganan ibadah, tidak hanya di Sinode GKT.

Ironi memang, ketika gereja seharusnya mengajarkan tentang kasih karunia Tuhan (sola gratia), mengajarkan kebenaran Firman Tuhan (sola scriptura), di dalam kenyataannya justru di gereja masih banyak didapati Firman Tuhan tidak diimplementasikan dengan benar. Sangat lazim ditemui di gereja mana-mana, besar suara voting tergantung besar persembahan. Manusiawi memang, tapi jelas-jelas tidak alkitabiah. Dan dengan demikian gereja mulai bermain politik demi kepentingan tertentu.

Entah penyandang dana terbesar adalah pendukung musik band lengkap yang hingar bingar sehingga ia mendanai sendiri seluruh perlengkapan-perlengkapan musik yang dibutuhkan. Atau sebaliknya penyandang dana adalah penyuka ibadah yang tenang dan khusuk sehingga ancaman ia akan keluar dari gereja membuat majelis setempat takut mengakomodasi keinginan anak mudanya. Kedua-duanya jelas adalah kepentingan politis, dan bukan motivasi yang benar dalam memutuskan warna dan gaya ibadah gereja.

Ibadah adalah sebuah persekutuan, bukan hanya umat yang ditebus kepada Tuhannya, tetapi juga sebuah persekutuan antar sesama anggota gereja. Karena itu tidak bisa preferensi sebuah warna ibadah ditentukan hanya oleh keinginan pribadi beberapa individu, apalagi kalau individu tersebut bahkan bukan anggota gereja lokal tersebut.

Langkah awal sebuah gereja mencari jati dirinya di dalam warna ibadah, harus dengan melihat ke dalam kondisi dan lingkungan sosial jemaatnya. Karunia apa yang dipunyai jemaat-jemaat sebuah gereja, terutama dalam bidang ibadah dan kesenian, bisa musik, karunia teatrikal atau tari-tarian, dsb. Karunia musik pun bisa dilihat lebih dalam lagi secara individu.

Langkah kedua adalah memfasilitasi bagaimana karunia-karunia tersebut bisa dikembangkan. Ketika pemimpin gereja mengumandangkan firman, adakah pemimpin gereja juga memikirkan bagaimana gereja memfasilitasi dan mendorong jemaat untuk melakukannya dalam kehidupan sehari-hari? Ketika gereja mengajarkan kepada jemaat untuk “mengembangkan talenta”, adakah gereja juga menyediakan atau minimal mendorong jemaatnya melakukan pengembangan karunianya? Gereja harus menjadi tempat terdepan untuk umat Tuhan belajar dan mengimplementasi Firman Tuhan, dan salah satunya adalah tuntutan pengembangan karunia.

Langkah ketiga adalah memberi ruang untuk karunia-karunia yang sudah berkembang tersebut dipergunakan untuk kemuliaan Tuhan (Soli Deo Gloria). Dan tentunya, apabila karunia tersebut adalah karunia-karunia kesenian, prosesi ibadah adalah tempat paling pas untuk menjadi ruang karunia-karunia tersebut dikaryakan. Seni musik, seni drama, seni tari, bahkan seni lukis kalau pemimpin gereja punya hati dan terus mencari ide untuk bisa mengkaryakan itu semua ke dalam ibadah akan menjadi sesuatu yang luar biasa.

Apabila ibadah hari Minggu, dipandang oleh pemimpin gereja sebagai suatu ruang untuk mempersembahkan karunia jemaat sebagai ibadah yang sejati. Warna ibadah yang paling pas bagi gereja tersebut akan terbentuk dengan sendirinya. Mungkin tidak bisa menyenangkan semua orang. Tetapi minimal dalam kasih persekutuan bergereja sebagai satu keluarga, perbedaan selera antar generasi bisa terjembatani dengan baik ketika orang tua-orang tua merasa bangga karena anak-anaknya melayani di ibadah dengan karunia yang luar biasa.

Mari saya uji dengan pertanyaan pertama: Adakah orang-orang tua mengernyitkan dahi ketika anak-anak sekolah minggu di bawah umur menyanyikan suatu lagu dalam koor anak di dalam ibadah yang warna lagunya tidak disukainya, dan disajikan dengan nada sumbang, ritme yang tidak pas dan dengan gaya serampangan tidak bisa diam?

Kalau jawabannya tidak, bahkan semuanya mungkin tertawa dan menikmatinya penuh sukacita. Kenapa hal yang sama tidak bisa ditoleransikan kepada anak-anak muda yang berbeda pandangan dalam melakukan pelayanan terutama pelayanan ibadah?

Dan pertanyaan kedua: Apabila misal secara ekstrem diharuskan memilih, mana yang lebih baik dalam menentukan warna dan gaya ibadah; warna dan gaya yang melibatkan banyak karunia pelayanan ataukah warna dan gaya ibadah yang membatasi karunia pelayanan?

Warna dan gaya ibadah tidak seharusnya ditentukan oleh keinginan sekelompok individu. Warna dan gaya ibadah seharusnya muncul dari manifestasi karunia-karunia pelayanan jemaat. Kalau Tuhan sudah memberikan karunia tersebut di dalam jemaat suatu gereja, tentu Tuhan ingin karunia itu dipersembahkan kembali kepada-Nya dengan berlipat ganda, ingatlah akan perumpamaan talenta (Matius 25:14-30). Dan gereja seharusnya menjadi wadah yang bisa memberikan ruang untuk pengembangan-pengembangan talenta jemaatnya.

Matius 25:29 dalam kesimpulan perumpamaan talenta secara lugas menyatakan bahwa setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Siapa mengembangkan talenta,kepadanya Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih, tanggung jawab yang lebih, upah yang lebih, dan dipercayakan perkara yang lebih besar. Siapa tidak mengembangkan talentanya, itu semua akan diambil daripadanya.

Gereja juga perlu mengevaluasi dirinya sendiri, ketika bibit anak-anak muda mereka yang potensial “diambil” dan diberikan kepada gereja lain. Ketika gereja mulai kesulitan menemukan karunia-karunia pelayanan di dalam jemaatnya. Bisa jadi itu karena gereja sudah tidak lagi mengembangkan talenta-talenta jemaat, tidak setia kepada perkara-perkara yang kecil, lupa untuk belajar dan lupa untuk berkembang. Barangsiapa setia kepada perkara yang kecil kepadanya akan dipercayakan perkara yang besar.

Karunia jemaat lokal harus menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh pemimpin gereja dalam mengembangkan warna dan gaya ibadah dibandingkan mempertahankan warna dan gaya ibadah lama demi jati diri yang semu. Apalagi apabila semuanya itu dipertahankan hanya untuk menyenangkan pribadi orang-orang tertentu.

Next : Ibadah #5: KASIH YANG BERKOMPROMI ATAU KEKERASAN HATI YANG PENUH KONFLIK
Orang bodoh adalah orang yang tidak pernah bisa belajar dari siapapun, termasuk dari orang pintar
Orang pintar adalah orang yang selalu bisa belajar dari siapapun, termasuk dari orang bodoh

~ Pujihasana Wijaya
BUTTON_POST_REPLY