Ibadah #2 : DI DALAM KETAKUTAN ATAU DI DALAM SUKACITA

Silahkan membagikan pemikiran, artikel, pengalaman pribadi, ajaran Firman Tuhan, dsb di forum ini. Forum ini juga terbuka untuk dibaca pendatang yang tidak medaftarkan diri sehingga penulis juga bisa membagikan tautan (link) tulisannya di forum ini ke WAG atau media lainnya.
Avatar pengguna
Pujihasana
Post: 23
Bergabung: 23 Jul 2022 18:55

Ibadah #2 : DI DALAM KETAKUTAN ATAU DI DALAM SUKACITA

Post oleh Pujihasana »

Disclaimer: Tulisan ini adalah opini saya, dari pemikiran pribadi. Terbuka untuk dikritisi karena saya juga tidak berani mengklaim apa yang saya tulis di sini mutlak benar.

Tulisan ini juga adalah sambungan dari tulisan di artikel lain
Ibadah #1 : DI BAWAH HUKUM TAURAT ATAU DI BAWAH KASIH KARUNIA

Ibadah Dalam Ketakutan
Mungkin hal ini tidak disadari oleh para pemimpin gereja, tetapi peraturan dan tata cara ibadah yang didoktrinasi kepada jemaat sebuah gereja dengan cara keliru akan menimbulkan ketakutan. Ketakutan untuk berekspresi, ketakutan untuk bertepuk tangan, ketakutan untuk mengangkat tangan, ketakutan untuk melompat, ketakutan untuk menangis, ketakutan untuk bernyanyi sumbang, ketakutan salah bermain musik, ketakutan salah urutan dalam memimpin ibadah, ketakutan untuk kreatif dan lain sebagainya.

Hukum, menimbulkan ketakutan, ketakutan akan hukuman. Tetapi di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih (1 Yohanes 4:18). Ketika suatu ibadah berjalan teratur dan rapi, tetapi umatnya menjalaninya di dalam ketakutan-ketakutan tertentu, dimanakah Roh dan Kebenaran di ibadah tersebut berada?

Saya pernah melayani dalam suatu seri KKR yang dipimpin oleh seorang pendeta besar dari suatu gereja injili. Panitia yang mengadakan acara tersebut demikian takutnya dengan apa yang akan terjadi. Sehingga dengan segala upaya mereka berusaha memastikan musik harus dimainkan dengan cara yang benar-benar sesuai selera dan cara pendeta tersebut. Jemaat juga sejak awal ibadah dipastikan semuanya harus ke kamar kecil tanpa kecuali dan dipastikan tidak boleh ada yang keluar ke kamar kecil ketika khotbah berlangsung. Anak kecil juga harus dipastikan kehadirannya tidak mengganggu konsentrasi pendeta tersebut.

Mungkin, ibadah tersebut akan berjalan “sempurna” sesuai dengan pandangan manusia. Tetapi siapa berani jujur dan mengklaim bahwa ibadah tersebut sempurna di hadapan Tuhan? Satu hal yang pasti, ibadah di dalam ketakutan jelas jauh dari bayangan ibadah di dalam Roh dan Kebenaran.

Tidak ada kebenaran di dalam sebuah ketakutan. Karena ketakutan akan menimbulkan hal yang berbeda dari apa yang sebenarnya. Ketakutan membuat orang tidak berani bicara jujur, ketakutan membuat orang tidak berani menunjukkan siapa dirinya, ketakutan membuat orang tidak berani mengekspresikan apa yang dirasakannya, ketakutan membuat orang jadi munafik, ketakutan membuat orang melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Ketakutan jelas punya wajah berbeda dengan kebenaran.

Tetapi ketakutan juga adalah hal yang cukup banyak ditemui di dalam ibadah. Terlebih apabila pemimpin gereja menggunakannya untuk mendapatkan kualitas ibadah sesuai yang diinginkannya. Baik gereja injili, baik gereja karismatik, keduanya tidak berbeda dalam hal ini. Contoh sederhana adalah gereja injili suka membuat peraturan-peraturan supaya ibadahnya khidmat, tenang dan khusuk, karena kalau tidak artinya tidak sopan di hadapan Tuhan. Gereja kharismatik mengharuskan jemaatnya berbahasa roh, karena kalau tidak artinya tidak berkarunia dan tidak beroleh urapan Roh Kudus.

Itulah yang terjadi apabila hukum diterapkan di dalam ibadah. Hukum tidak seharusnya mendapatkan tempat di dalam ibadah. Karena hukum akan mendatangkan ketakutan, dan ketakutan akan menjauhkan umat dari kebenaran. Ibadah harus datang dari hati yang mengasihi Tuhan, ingin dekat kepada Tuhan, bukan dari ketakutan akan murka Tuhan karena melanggar aturan-aturan yang bahkan adalah buatan manusia. Kita bukan lagi orang-orang yang jauh dari Tuhan tetapi kita adalah anak-anakNya yang datang penuh kekaguman dan kasih kepada Tuhan.

Takut Akan Tuhan
Lantas bukankah kita juga diajarkan untuk takut akan Tuhan (Kolose 3:22)? Kalau ketakutan menjauhkan kita dari kebenaran, maka apa arti ketakutan kita akan Tuhan? Bukankah ini adalah sesuatu yang kontradiktif? Tentu tidak, karena ketakutan tetap adalah sesuatu emosi yang membuat kita menyangkal sesuatu, dan memang ada di dalam diri kita yang perlu disangkal dalam hubungan kita dengan Tuhan, yaitu kedagingan kita.

Karena itu takut akan Tuhan seharusnya lebih terekspresi kepada ketakutan bahwa kita akan mengecewakan Tuhan, ketakutan kita didapati tidak layak sehingga kita tidak bisa bersekutu dengan Tuhan di dalam kebenaran. Ketakutan akan kekudusan dan kesucian Tuhan. Dengan demikian ketakutan yang boleh ada di dalam diri manusia yang ditebus, adalah ketakutan untuk kembali gagal hidup kudus, ketakutan akan kalah dalam kedagingan.

Tetapi ketakutan-ketakutan di dalam ibadah adalah hal yang sama sekali berbeda dengan “takut akan Tuhan”. Pemimpin gereja yang membawa-bawa ide “takut akan Tuhan” untuk mendoktrinasi jemaatnya supaya ibadah dengan penuh sikap hormat tenang dan khusuk adalah pemimpin gereja yang sangat manipulatif dan keluar dari konteks. Karena ekspresi emosi bukanlah suatu kedagingan yang harus disangkal. Apakah bertepuk tangan, mengangkat tangan dan melompat adalah suatu hal kedagingan yang keji, tidak kudus dan tidak berkenan di hadapan Tuhan? Sebaliknya pula, jangan mengintimidasi atau menghakimi jemaat yang kesulitan untuk ekspresif di dalam ibadah. Kalaupun itu berhasil membuatnya ekspresif, jangan-jangan itu hasil dari ketakutannya.

Kalau ditarik lebih dalam lagi, sebenarnya segala sesuatu yang tidak layak tetapi tetap terjadi di dalam ibadah, semua juga muncul dari ketakutan. Pemain musik menampilkan permainan yang luar biasa bahkan hingga berlebihan, karena takut dicap “biasa-biasa saja”. Atau sebaliknya pemusik yang lain bermain tidak maksimal karena takut dicap “memuliakan dirinya sendiri”. Pemusik pemula sibuk dengan mengingat-ingat chord yang harus dimainkan karena takut bakal salah. Pemimpin ibadah tidak berkonsentrasi dan lupa untuk ikut di dalam ibadah itu sendiri, karena sibuk mengingat-ingat apa yang selanjutnya harus dikatakan dan dilakukan, karena juga takut untuk salah.

Bertepuk tangan, mengangkat tangan dan melompat, juga bukanlah sesuatu yang tidak sopan. Melompat adalah ekpresi sukacita; Daud, Ayub, dan orang lumpuh yang disembuhkan melalui Petrus, semua diceritakan di dalam Alkitab melompat karena dipenuhi sukacita. Apabila orang tidak melakukannya karena bukan itu pilihan ekspresinya, tentu tidak ada yang berhak menghakiminya bahwa ia sedang tidak bersukacita. Dan sebaliknya pula yang sedang melakukannya pun tidak bisa dipastikan itu murni keluar dari ekspresi sukacitanya.

Pertanyaannya sekarang; melakukan atau tidak melakukan ekspresi-ekspresi tersebut di dalam ibadah, apakah dasar dan latar belakangnya? Kalau seseorang ingin melakukan tapi tidak melakukannya karena takut dihakimi (bahkan oleh dirinya sendiri) sedang melakukan perbuatan tidak sopan di dalam ibadah. Atau sebaliknya melakukan itu semua karena takut dianggap tidak diurapi Roh Kudus. Maka kedua-duanya sama-sama tindakan munafik, dan apakah ibadah seperti itu layak di hadapan Tuhan?

Ibadah Dalam Sukacita
Pemimpin gereja tidak bisa memilih karakter jemaatnya, ada yang berkarakter tenang, tetapi juga memang ada yang berkarakter ekspresif, apalagi kalau didukung usia yang masih muda. Jadi kalau pemimpin gereja ingin memastikan tidak akan ada yang melompat di dalam ibadahnya, pilihannya cuma ada dua; doktrinasi jemaatnya agar takut untuk melompat dengan hukum-hukum dan ajaran buatan sendiri atau cegah jangan sampai jemaat di dalam ibadah memperoleh sukacita yang meluap sehingga mereka ingin melompat. Tetapi keduanya, jelas tidak ada dasar alkitabiahnya.
2 Timotius 1:7 menulis:Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.
Bertepuk tangan, mengangkat tangan, bergandengan tangan atau bahkan mungkin melompat adalah salah satu cara mengkaryakan kedagingan untuk kemuliaan Kristus. Meskipun daging ini sementara, tetapi sejak semula Tuhan menciptakan manusia di dalam tubuh dan roh, dan itu baik adanya. Beribadah di dalam roh dan kebenaran, bukan berarti daging tidak terlibat. Karena apabila arti beribadah di dalam roh itu artinya daging tidak boleh terlibat, maka lebih baik semua terdiam dan beribadah dengan cara semedi; puasa bicara, puasa makan dan minum, puasa melihat, puasa mendengar, puasa merasakan dengan keseluruhan indra. Dan ada tertulis Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”. (1 Korintus 6:20).


Ibadah #2.png
Ibadah #2.png (133.67 KiB) Dilihat 234 kali


Beribadah di dalam roh dan kebenaran adalah bagaimana roh menguasai daging di dalam ibadah sehingga apa yang dilakukan daging adalah sesuai dengan kehendak roh. Dan di dalam roh tidak ada ketakutan, karena buah roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu, dan ketakutan jelas bukan manifestasi roh. Ketakutan adalah manifestasi kedagingan manusia.

Ibadah di dalam roh dan kebenaran, tidak memberi ruang bagi ketakutan untuk ada di dalamnya. Kebenaran itu ada di dalam kasih, karena kasih menutupi banyak pelanggaran, dan di dalam kasih tidak ada ketakutan, melainkan sukacita

Next : Ibadah #3 : SAKRAL ATAU SERAMPANGAN
Orang bodoh adalah orang yang tidak pernah bisa belajar dari siapapun, termasuk dari orang pintar
Orang pintar adalah orang yang selalu bisa belajar dari siapapun, termasuk dari orang bodoh

~ Pujihasana Wijaya
BUTTON_POST_REPLY